|
Sumber : Dok. Pribadi |
Apakah kamu pernah memperjuangkan seseorang?
Aku berjalan pelan menuju rumah kita. Terseret-seret kakiku yang kesakitan dengan penuh luka dan sayatan. Terlihat kamu melambai dengan semangat dari kejauhan, menunggu aku sampai ke rumah. Aku tersenyum, entah kamu mengerti atau tidak jika aku meringis dalam hati.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Baru saja aku lewati sekian kilometer jalan dengan duri tajam. Di tengah jalan tadi, aku merusak sepasang sepatuku yang tadinya memang sudah robek karena terkena duri di awal perjalanan. Namun dalam benakku, aku harus pulang. Harus kutemui sang pemilik hatiku, karena aku berjanji akan menjaganya bersama si pemilik.
Kuterjang duri-duri tersebut dengan penuh semangat. Saat aku selesai menemui duri-duri, perasaanku belum juga tenang. Di depan sana terdapat sungai yang dalam dan tidak terdapat jembatan. Aku harus berenang. Dingin, aku pun hampir terserang hipotermia. Tetapi kenangan hangat kita di rumah membuatku terus bernapas. Aku pun sampai di tepi yang lainnya.
Saat kulanjutkan perjalanan, udara berubah menjadi agak panas. Kakiku sudah memerah karena berjalan di aspal yang disinari matahari sedari tadi. Aku yang tidak kuat panas kemudian berlari mencari tempat berteduh. Waktu aku temukan pohon yang rindang, rasanya itu terlalu jauh untuk dicapai karena aku harus ke barat sekitar lima kilometer lagi, sedangkan rumahku masih ke utara. Akhirnya, aku memilih untuk merasakan bagaimana kasarnya aspal saja.
Lewat dari jalanan beraspal kasar, aku mulai lelah. Aku hampir menyerah. Dinginnya malam membuatku berfantasi, akankah kamu melakukan hal yang berat ini demi aku? Atau diriku yang terlalu takut hatiku tidak dijaga dengan baik sehingga aku berlaku bodoh?
Di depan terlihat ada tanjakan yang sangat curam. Aku berpikir, jika perjalanan sebelumnya bisa kulewati dengan segala pendarahan, yang ini pasti bisa. Kuhabiskan tujuh hari untuk berjibaku dengan tanjakan ini, diantaranya tiga malam untuk mendaki. Sebentar lagi sampai. Semuanya pasti akan setimpal dengan hasilnya.
Dari kejauhan, aku sudah mulai mengenali daerah rumahku dan sang pemilik hatiku. Aku mulai menambah kecepatan berjalanku lagi dan sangat berharap bahwa si pemilik menyambutku dengan bahagia.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kucuci kakiku yang bersimbah darah di halaman rumah kita agar tidak mengotori dalam rumah yang sudah kurawat lama denganmu. Perih, namun tak apa, toh aku sudah di rumah. Aku masuk ke dalam rumah dan kamu memelukku. Namun kusadari bahwa warna rumah kita sudah mulai pudar.
Sesekali aku ajak kamu untuk memperbaharui rumah kita. Kamu mengiyakan dan itu membuatku sudah cukup senang. Aku akan bersiap untuk segalanya, memulai lagi dengan rumah yang ceria dan memberiku banyak ide.
Esok paginya, aku bersiap menuju tempat peralatan, tetapi aku lihat kamu masih bersembunyi di bawah selimut. Kamu tertidur sangat pulas, seperti memimpikan sesuatu yang sangat indah. Karena tidak tega, aku memutuskan untuk menuju tempat peralatan sendirian. Kuboyong alat-alat berat ke rumah dengan berjalan. Ternyata kamu masih tidur.
Tak apa, mungkin aku benahi sendiri dulu.
Esok harinya lagi, kuperbaiki apa yang harus diperbaiki di rumah kita. Kuajak kamu untuk membantuku, namun sepertinya kamu sedang melakukan sesuatu dan tidak bisa kuganggu gugat. Baiklah, aku mengalah. Aku kerjakan sendiri dulu.
Malamnya, aku yang masih bekerja sedikit mengintip kamu yang juga masih sibuk dengan apa yang kamu kerjakan. Melihatku pun tidak. Karena sudah lelah, aku membersihkan badanku untuk tidur. Entah apa yang akan kamu lakukan setelahnya.
Matahari kemudian muncul lagi dan aku yakin ini saat yang tepat untuk kamu ikut membenahi rumah kita. Aku cukup lega karena hari ini tidak ada yang perlu kamu kerjakan sehingga kamu bisa bekerja denganku satu hari penuh. Namun saat kamu baru mulai bekerja, kamu tidak yakin usaha kita untuk mewarnai rumah ini akan berhasil, padahal aku sudah setengah jalan.
Pada saat itu juga, aku sadar, nampaknya aku berjuang sendirian.
Aku mempertaruhkan tubuh dan tenagaku untuk seseorang yang aku belum tahu betul hatinya. Memang kamu memintaku, namun entahlah, aku tidak merasa begitu. Akhirnya, aku memilih untuk keluar rumah dan berpamitan. Kuberikan semua rumah itu kepadamu, agar nanti ketika kamu sadar bahwa warnanya sudah benar-benar hilang, kamu akan membenahinya.
Terimakasih sudah menerimaku di rumah.
Sekarang, giliranmu untuk menjaganya.
Entah mengapa kok jadi mewek ya baca ini, semacam dalem banget maknanya buat saya.
ReplyDeletepas juga bacanya tengah malam, jadi makin mellow aja diri saya hahaha
Huaa Mbak Rey, nggak apa-apa kok kalau terbawa, asal terbawanya nggak terlalu dalam, bisa-bisa orang pada nanya Mbak matanya kok sembab teruuus...
Delete